This is an official blog of Adventurer Rural design project (ARD project), a participative village mapping and planning project that held by 3 students of Urban and Regional Planning program of Gadjah Mada University under KAYON Foundation. The project is taking place in Geluntung village, Marga, Tabanan, Bali. Mapping process is participative which involved village apparatus, youths, and kids. All written in this blog is the progress during the practical study.

Sunday, June 21, 2009

Promotional Designs

This is my leaflet design
made in Geluntung, August 2008
in a rush hour day before Rembug.

Lay out and pictures by Atrid
Text by Atrid in collaboration with Agung Putradhyana

(out-right / front)

(out-left / back)

(in-left)

(in-right)

What makes this leaflet special??

I love the background, actually it was Bli Gung's house wall-paint and bamboo-wall. Bli Gung explained to us that his house paint is made of natural materials such as clayey soil etc. I was so interested to shot and make them my backgrounds.

See... the dead line made us more creative...

^atrid^

Monday, February 2, 2009

"viewture village" profile


03.02.2009

Profil Kegiatan

“Pemetaan dan Perencanaan Tata Desa Partisipatif” adalah kegiatan yang difasilitasi oleh Yayasan KAYON-Bali untuk membuat peta desa dengan data-data yang “hidup”, yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar-dasar perencanaan pengembangan wilayah desa. Desa pertama yang merasakan kegiatan ini adalah Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali.


Pemilihan lokasi ini dikarenakan wilayah Desa Geluntung merupakan hasil pemekaran wilayah Desa Petiga. Hal yang menjadi permasalahan dalam setiap adanya kegiatan pemekaran wilayah adalah penentuan tapal batas wilayah, yang dapat menimbulkan konflik sosial antar desa. Konflik antar desa telah banyak terjadi di desa-desa adat di Bali, sehingga dengan adanya kegiatan “Pemetaan dan Perencanaan Tata Desa Partisipatif” ini dapat dicapai kesepakatan antar desa tentang penentuan tapal batas ini. Salah satu cara untuk menentukan tapal batas tersebut adalah dengan melakukan survei lapangan bersama masyarakat desa atau banjar yang didampingi oleh lembaga adat setempat untuk dilakukan verifikasi dan pengecekan koordinat dengan alat global positioning system (GPS).


Desa Geluntung sebagai desa pekraman atau desa adat tentu saja memerlukan peta wilayah yang memuat data-data sebagai dasar untuk melakukan perencanaan pengembangan wilayah desa tersebut di masa depan, selain itu juga lokasi Yayasan KAYON-Bali yang terletak di Banjar Geluntung Kaja, Desa Geluntung, memudahkan untuk mengorganisasikan dan melakukan pendekatan dengan masyarakat desa adat setempat dan desa-desa sekitarnya.


Kegiatan ini merupakan model pengembangan desa yang menitikberatkan pada keterlibatan aktif masyarakat dalam keseluruhan proses perencanaan pengembangan desa. Model pengembangan desa ini dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain:

  1. Aspiratif, yaitu mampu menampung masalah, usulan, kebutuhan, kepentingan, keinginan dari masyarakat.
  2. Menarik, yaitu mendorong perhatian dan minat masyarakat desa untuk aktif dan terlibat dalam kegiatan perencanaan dan pengembangan desa.
  3. Operasional, yaitu program yang dihasilkan dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata sesuai sumber daya setempat dan mudah dalam penerapannya.
  4. Inovatif, yaitu program pengembangan yang dihasilkan mendorong kreativitas, perubahan tanpa meninggalkan tatanan nilai sosial dan budaya yang telah ada serta mampu menjawab peluang dan tantangan masyarakat ke depan.
  5. Partisipatif, yaitu melibatkan seluruh elemen masyarakat sebagai subjek perencanaan.
  6. Adaptif, yaitu menggunakan pendekatan dan metode yang sesuai dengan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat.
  7. Koordinatif, yaitu memperkuat jalinan dan sinergisitas stakeholders baik pemerintah, swasta, LSM, perguruan tinggi, masyarakat, maupun lembaga terkait lainnya dalam perencanaan pengembangan desa.
  8. Demokratis, yaitu menghormati dan menghargai perbedaan pendapat, terbuka menerima kritik, musyawarah dan mufakat.
  9. Edukatif, yaitu membangun masyarakat pembelajar melalui berbagi informasi, pengetahuan, pengalaman, dan teknologi.



Kegiatan “Pemetaan dan Perencanaan Tata Desa Partisipatif” Desa Geluntung ini membawa tema konsep “viewture village” (baca: viu cier vilidj) untuk memberikan fokus rencana pengembangan desa ini ke depannya. Konsep “viewture village” diambil dari penggabungan beberapa kata yang mempunyai makna, yaitu “desa yang memiliki pemandangan yang indah” dan “desa masa depan”.


Kata viewture village diambil dari kata “view” yang berarti wawasan/pandangan luas, pemandangan, “ture” yang merupakan penggalan dari kata “future” yang berarti masa depan, sedangkan kata “village” sendiri berarti desa. Jadi, konsep viewture village yang secara tidak langsung dapat ditulis future village (desa masa depan), mempunyai cita-cita yaitu desa ini mampu menjadi desa yang responsif terhadap perubahan jaman tanpa meninggalkan tatanan nilai-nilai sosial, budaya, dan lingkungan yang telah ada. Adapun konsep ini dapat dijelaskan melalui gambar berikut



Tujuan dan Sasaran

Adapun tujuan dari kegiatan “Pemetaan dan Perencanaan Tata Desa Partisipatif” Desa Geluntung ini adalah:

  1. Terciptanya partisipasi dan kesepakatan masyarakat, baik yang berada di wilayah Desa Geluntung maupun yang berada di desa sekitarnya, dengan lembaga adat dan lembaga dinas yang terkait, dalam penyusunan peta desa yang menyangkut batas wilayah desa.
  2. Penentuan tapal batas yang tepat hal ini dikarenakan adanya keterlibatan masyarakat dalam proses pemetaan ini maka kegiatan ini dapat menjadi model dalam pembuktian keakuratan penentuan tapal batas suatu wilayah
  3. Tersedianya peta wilayah Desa Geluntung sebagai dasar perencanaan pengembangan wilayah desa tersebut.
  4. Terwujudnya keseimbangan pemanfaatan ruang di desa adat dan konservasi lingkungan serta ruang-ruang yang memiliki potensi pengembangan energi alternatif ramah lingkungan.



Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan “Pemetaan dan Perencanaan Tata Desa Partisipatif” Desa Geluntung ini antara lain:

  1. Memfasilitasi masyarakat untuk merencanakan dan mengembangkan lingkungan desa
  2. Mendorong dan mengarahkan perkembangan kawasan melalui penataan ruang kawasan yang memiliki potensi pengembangan dengan tetap melestarikan tata lingkungan dan tata sosial yang ada di desa setempat.
  3. Mewujudkan kemandirian desa melalui adanya sinergisitas stakeholders yang dilakukan dengan proses perencanaan yang ada.

Dasar Peraturan

Aspek legal formal yang mendasari pelakasnaan kegiatan “Pemetaan dan Perencanaan Tata Desa Partisipatif” ini adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 51 tahun 2007 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat. Peraturan ini menjelaskan bahwa ruang lingkup pembangunan kawasan perdesaan berbasis masyarakat (PKPBM) meliputi:

  1. penataan ruang secara partisipatif,
  2. pengembangan pusat pertumbuhan terpadu antar desa, dan
  3. penguatan kapasitas masyarakat, kelembagaan dan kemitraan.

Dalam Bab VI Pasal 7 ayat (1) juga dijelaskan bahwa penataan ruang partisipatif dilaksanakan dalam bentuk pola tata desa untuk area atau lokasi baru dan dalam bentuk revitalisasi yaitu penguatan fungsi ruang yang ada untuk desa-desa yang sudah ada. Desa Geluntung dalam hal ini dapat dikategorikan keduanya, yaitu lokasi baru karena desa ini terbentuk setelah terjadi pemekaran wilayah dari Desa Petiga dan desa yang sudah ada, karena fungsi ruang yang ada seperti peletakan bale banjar dan pura desa telah sesuai dengan pola tata ruang adat Bali.


Prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan ini adalah:

  1. aspirasi dan kebutuhan masyarakat desa di kawasan perdesaan;
  2. kewenangan desa;
  3. potensi desa;
  4. kelestarian lingkungan dan konservasi sumber daya alam;
  5. keserasian kepentingan antar kawasan dan kepentingan umum; dan
  6. kondisi sosial budaya dan ciri ekologi kawasan perdesaan.

Profil Lokasi Pelaksanaan Kegiatan

Desa Geluntung atau Desa Pekraman Geluntung merupakan salah satu dari 22 desa dinas yang terletak di Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Desa Geluntung secara geografis terletak pada 8°10’20” LS dan 115°27’20” BT. Desa Geluntung merupakan salah satu desa baru, karena desa ini sebelumnya adalah banjar (dusun) dari Desa Petiga, yang selanjutnya pada tanggal 1 Mei 2007 Desa Geluntung resmi terbentuk dari hasil pemekaran wilayah Desa Petiga.


Luas keseluruhan wilayah Desa Geluntung adalah 125 Ha. Desa Geluntung sendiri merupakan desa dengan corak agraris dengan hasil utama pertanian adalah padi dan coklat. Desa Geluntung terletak pada wilayah dengan ketinggian wilayah bervariasi antara 450 mdpl hingga 700 mdpl. Variasi ketinggian tersebut menyebabkan suhu udara di Desa Geluntung tergolong sejuk, temperatur rata-rata sebesar 23ºC, dengan suhu udara minimum 18,3 ºC dan maksimum 29,7 ºC.


Batas-batas adminsitratif wilayah Desa Geluntung adalah sebagai berikut:

  • Sebelah Utara : Desa Petiga
  • Sebelah Timur : Desa Marga Dajan Puri
  • Sebelah Selatan : Desa Marga Dauh Puri
  • Sebelah Barat : Desa Payangan

Desa Geluntung terdiri dari lima banjar adat dan empat banjar dinas, kelima banjar adat tersebut adalah:

  1. Banjar Adat Umabali
  2. Banjar Adat Geluntung Kaja
  3. Banjar Adat Alas Perean
  4. Banjar Adat Geluntung Kelod
  5. Banjar Adat Kikik

Jumlah penduduk Desa Geluntung adalah 1.593 jiwa yang terdiri dari 777 jiwa penduduk laki-laki dan 816 jiwa penduduk perempuan, sedangkan jumlah kepala keluarga sebesar 467 KK. Penduduk Desa Geluntung seluruhnya merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan memeluk agama Hindu.

Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat Desa Geluntung dapat dilihat dari mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah pekerja sektor pertanian.


Kehidupan budaya masyarakat Desa Geluntung dapat dilihat aktivitas upacara adat keagamaan. Penduduk Desa Geluntung yang seluruhnya memeluk Hindu, yang setiap Purnama Tilem mengadakan persembahyangan bersama-sama di tempat suci. Ativitas ritual upacara adat ini merupakan perwujudan keterkaitan antara manusia – kegiatan – ruang (man – activity – space).


Lansekap kultural Provinsi Bali merupakan sebuah manifestasi terkemuka dari keunikan doktrin kosmologikal masyarakat adat Bali yang mencerminkan cita-cita luhur dan kepercayaan yang diadopsi dari Tri Hita Karana, yaitu sebuah konsep dari hubungan (relationship) antara Tuhan, manusia, dan lingkungan (alam). Dalam kehidupan sehari-hari orang Bali, implementasi dari konsep Tri Hita Karana diwujudkan dengan berbagai macam aktivitas, seperti upacara ritual, organisasi sosial, penataan kawasan permukiman (settlement arrangement), pengelolaan lingkungan, seni, dan arsitektur. Hal ini menghasilkan sebuah harmonisasi dan keindahan lingkungan dan budaya di Bali.


Adanya tindak lanjut dari kegiatan “Pemetaan dan Perencanaan Tata Desa Partisipatif” ini diharapkan dapat menumbuhkan kemandirian desa. Desa yang mandiri akan memberikan ruang gerak yang luas dalam perencanaan pembangunan sebagai kebutuhan nyata masyarakat dan tidak banyak dibebani oleh program kerja dari dinas atau instansi pemerintah. Jika kemandirian desa dapat terwujud, maka tidak perlu terjadi urbanisasi tenaga potensial ke kota, karena desa mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup dan menyusun rencana strategis pengembangan sumber daya alam dan manusia secara terpadu.


(danarholic).




Rembug Perencanaan Tata Desa Partisipatif


Kegiatan rembug ini merupakan kegiatan yang ingin mempertemukan masyarakat dengan semua stakeholder untuk membicarakan beberapa hasil pemetaan partisipatif yang telah dilakukan oleh masyarakat Desa Geluntung dengan fasilitasi Yayasan KAYON-Bali. Pengorganisasian acara rembug dimulai dari proses diskusi internal Yayasan KAYON dan selanjutnya menyampaikan ide ini ke pemerintah Desa Geluntung. Pemerintah Desa Geluntung mendukung ide ini dan siap menjadi tuan rumah penyelenggaraan.


Dalam diskusi internal pada hari Selasa, 19 Agustus 2008 malam di Kubu Siar dibicarakan tentang konsep acara, ada beberapa opsi (sarasehan, seminar, dan rembug), dan dipilihlah rembug karena pertemuan ini bersifat informal, walaupun melibatkan pihak-pihak yang formal. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan memikirkan siapa saja stakeholder yang akan diundang dalam rembug ini dan diputuskan untuk mengundang Kepala BAPPEDA Kabupaten Tabanan, Pejabat operasional Kabupaten Tabanan, Konsultan Manajemen PNPM-PPK P2SPP Kabupaten Tabanan, Fasilitator PNPM Kecamatan Marga, Pejabat operasional Kecamatan Marga, Kelian-kelian Adat dan Dinas Banjar yang ada di Desa Geluntung, BPD Geluntung, Kepala Desa sekitar Desa Geluntung, dan beberapa pelaku ekowisata. Kegiatan rembug direncanakan pada hari Rabu (27/8) di Bale Banjar Geluntung Kaja.

Dalam kegiatan rembug ini nantinya, para stakeholder juga dikenalkan konsep Viewture Village. Konsep ini merupakan sebuah bentuk upaya konservasi lingkungan desa dan di masa depan desa ini direncanakan dapat memanfaatkan energi alternatif ramah lingkungan yang tentu saja melibatkan partisipasi masyarakat desa.


Pengorganisasian selanjutnya adalah membuat surat undangan dan menyampaikan undangan tersebut kepada para stakeholder. Pada hari Jumat (22/8) Danar bersama sekretaris Desa Geluntung, Bli Putu Gunarsa, mengantar undangan “Rembug Perencanaan Tata Desa Partisipatif” yang ditujukan kepada Fasilitator PNPM Kecamatan Marga, Pejabat Operasional Kecamatan Marga, dan Konsultan Manajemen PNPM-PPK P2SPP Kabupaten Tabanan, selanjutnya pada hari Selasa (26/8) menyampaikan undangan kepada Pak Gede Urip, Kepala Bidang Sosial dan Budaya BAPPEDA Kabupaten Tabanan, di Kantor BAPPEDA Kabupaten Tabanan. Pak Gede Urip menyambut positif kegiatan ini dan berharap kegiatan ini dapat menjadi awal dari sebuah proses perencanaan penataan ruang desa (ada follow up atau rembug-rembug lanjutan dan tindak lanjutnya/rencana aksi) serta dapat juga dilakukan di desa-desa adat lain yang berada di Kabupaten Tabanan.


Rembug Perencanaan Tata Desa Partisipatif dilaksanakan pada hari Rabu, 27 Agustus 2008, di Roemah KAYON, hal ini dikarenakan Bale Banjar Geluntung Kaja digunakan untuk persiapan upacara keagamaan.

Kegiatan berjalan dengan lancar, dilaksanakan pada pukul 09.00 – 13.00 WITA. Pertemuan lintas stakeholder ini mengangkat topik tentang: Pemetaan Wilayah, Potensi Alam dan Masyarakat, Jalur Pengembangan Desa, Revitalisasi Keswadayaan, serta Inovasi dan Prospek Kerjasama.


Rembug Perencanaan Tata Desa Partisipatif ini dihadiri oleh:

1. Pak Gede Urip (Kepala Bidang Sosial dan Budaya BAPPEDA Kabupaten Tabanan),
2. Perwakilan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Tabanan,
3. Konsultan Manajemen PNPM-PPK P2SPP Kabupaten Tabanan,
4. Fasilitator Kecamatan Marga,
5. Kepala desa sekitar Desa Geluntung (Desa Marga Dauh Puri, Marga Dajan Puri, Payangan, dan Petiga),
6. Ketua forum kerjasama antar desa,
7. Pak Alit dan teman-teman dari Kapal Ecotourism Village,
8. Kelian adat dan kelian dinas Banjar Umabali, Geluntung Kaja, Alas Pere, Geluntung Kelod, dan Banjar Kikik,
9. Pak Puteru, ketua Badan Permusyawaratan Desa,
10. Pemerintah Desa Geluntung dan aparat bimas Polsek Marga,
11. Perwakilan LSM, yang dalam hal ini oleh Yayasan KAYON-Bali.


Pak Gede Urip (Kepala Bidang Sosial dan Budaya BAPPEDA Kabupaten Tabanan) menyampaikan apresiasi dan dukungan kegiatan pemetaan tata desa ini, bersama Pak Alit (Kapal Ecotourism), Bu Agung (KM Kab PNPM PPK), Pak Gede (FK), dan Kepala BPD Geluntung, menjalin sinergisitas antarstakeholder


ekspose / display peta salah satu banjar dan peta Desa Geluntung

















Bu Agung (KM Kab PNPM Tabanan) dan Pak Alit (Kapal Ecotourism Village) menyampaikan tanggapannya


Rembug ini bersifat informal walaupun melibatkan pihak formal, yang bertujuan untuk sharing, menggabungkan jalur-jalur proses perencanaan, sinergi stakeholders, dan ekspose hasil pemetaan partisipatif yang telah dilakukan selama 1,5 bulan di Desa Geluntung. Kegiatan ini merupakan awal dari proses perencanaan dan pengembangan desa. Untuk teknis pengembangan belum tentu semua desa di Bali mengembangkan pariwisata, karena boleh dikatakan pariwisata adalah “bonus” yang apabila diambil dapat menambah nilai yang telah ada. Oleh karena itu, apabila desa memiliki rencana pengembangan community based tourism, masyarakat lokal setempat harus menikmati hasil dari adanya rencana tersebut, atau dapat dikatakan pengembangan pariwisata harus sesuai dengan kultur masyarakat setempat.


Hasil akhir dari rembug ini adalah adanya kesepakatan untuk mewujudkan sinergisitas stakeholders, yang selanjutnya dapat menjadi proses perencanaan pengembangan yang dimulai dari bawah, yaitu dari desa. Hal ini dikarenakan dukungan pemerintah saat ini cenderung berpikir hal-hal yang besar dan biasanya dikerjakan lewat proyek. Jadi, diharapkan adanya penggabungan lima jalur proses perencanaan (top-down, bottom-up, teknokrasi, politik, dan swadaya).


(danarholic)