This is an official blog of Adventurer Rural design project (ARD project), a participative village mapping and planning project that held by 3 students of Urban and Regional Planning program of Gadjah Mada University under KAYON Foundation. The project is taking place in Geluntung village, Marga, Tabanan, Bali. Mapping process is participative which involved village apparatus, youths, and kids. All written in this blog is the progress during the practical study.

Friday, September 19, 2008

Trekking Geluntung Kaja



10.08.2008

Trekking dan Mapping kali ini mengambil lokasi di kawasan Banjar Geluntung Kaja. Rombongan trekking terdiri dari tim ARD, anak-anak dari Geluntung Kaja serta perwakilan dari STT (Eka, Ngawan, Komeng, Coolin).Kami memulai perjalanan sekitar jam 8 pagi menuju batas Selatan dari Banjar Geluntung Kaja, yaitu wilayah Banjar Geluntung Kelod. Pengambilan koordinat pertama dilakukan di batas rumah antara Banjar Geluntung Kaja dan Geluntung Kelod.


(memulai perjalanan)

Trekking kemudian dilanjutkan dengan mnyusuri jalan utama Desa Geluntung menuju ke arah Utara. Rombongan lalu berbelok ke arah Gang Tua untuk mencatat koordinat di kawasan tersebut. Kami lalu melanjutkan pencatatan pada titik triangulasi di depan Pura Puseh. Banjar Geluntung Kaja termasuk satu dari lima banjar yang ada di Desa Geluntung, dengan penduduk 626 jiwa. Jumlah tersebut meliputi KK Adat sebanyak 150 KK dan KK Dinas sebanyak 182 KK.


(titik triangulasi)

Perjalanan selanjutnya berfokus pada titik-titik koordinat di sepanjang Jalan Wisnu-Marga yang masih masuk dalam wilayah Desa Geluntung. Kami pun tiba di Bale Subak Buluh dan segera melakukan pencatatan koordinat serta melakukan wawancara singkat bersama Pekaseh yang bersangkutan mengenai rincian pembagian air di subak tersebut. Di sepanjang perjalanan kami banyak menjumpai pembagi air seperti di Bale Subak Buluh. Kami juga sempat menyaksikan gerombolan burung Kokokan yang sedang mencari makan di areal persawahan yang sedang dibajak.


(jalan Wisnu-Marga)


(di pembagi air Subak Buluh)


(rombongan burung kokoan)


Penyusuran koordinat di sepanjang Jalan Wisnu-Marga berakhir di Pal Batas serta Pelinggih di batas Desa geluntung dengan Desa Petiga. Konon Pelinggih di wilayah itu didirikan sebagai pengganti pohon Pole besar yang pernah tumbuh di sana. Kami lalu berbalik arah dan menyusuri area persawahan Geluntung Kaja yang berbatasan dengan Umabali. Kami semua menyusuri pematang area persawahan dan turun menuju Tibu Sasah. Beberapa dari anggota rombongan menyempatkan diri minum dari selang kecil yang dipasang pada pipa air di lokasi Tibu Sasah, sementara anak-anak kecil bermain dan menyeberangi aliran sungai yang saat itu tidak terlalu deras. Sembari menuruni tebing kecil di menuju Tibu sasah, kami juga melakukan pengukuran ketinggian secara manual dengan bantuan alat ukur berupa meteran. Pengukuran manual menunjukkan selisih ketinggian dari tebing atas menuju tibu sebesar 5, 8 meter. Hasil pengukuran manual ini akan digunakan sebagai komparasi/pembanding data ketinggian dari GPS Nokia Navigator. Pencatatan dilanjutkan dengan mengukur debit air dari beji di Tibu Sasah tersebut. Ternyata aliran air di beji tersebut menyimpan total potensi air sebesar 394 mL per detik.


(minum di pipa)


(Tibu Sasah)


(pengukuran debit air di beji)

Pencatatan koordinat dilanjutkan ke jembatan yang menjadi batas Desa Geluntung dengan Desa Marga. Menjelang tengah hari rombongan beristirahat di Warung Bu Bagus sembari mengisi perut. Pemberhentian ini juga dimanfaatkan untuk penandatanganan peta sebagai bukti keikutsertaan dalam proses trekking dan pemetaan (maping).


(klian dinas banjar Geluntung Kaja menandatangani peta trekking)


(istirahat di warung Bu Bagus)

Setelah selesai beristirahat, perjalanan lalu dilanjutkan ke arah batas selatan Banjar Tua. Perjalanan hari itu berakhir menjelang sore hari di halaman belakang Rumah Kayon.

Trekking Banjar Kikik

03 Agustus 2008

Kami mengawali pagi ini dengan semangat, semalam kami dan teman-teman di Geluntung (Ayu, Puri, Eka dan Ngawan) sudah antusias untuk menyambut kegiatan trekking hari ini. Minggu lalu kami tidak melakukan kegiatan trekking pemetaan karena ada upacara agung di bale banjar Geluntung Kaja (di depan Roemah KAYON). Upacara ini merupakan puncak dari rangkaian upacara Melaspas, Mendem Pedagingan lan Ngenteg Linggih.

Pagi-pagi, waktu masih menunjukkan pukul 05.30, Atrid dan Rani sudah naik ke Kubu Siar untuk membangunkan teman-teman (ada Danar, Eka dan Ngawan). Setelah itu, kami segera menuju ke warung bubur untuk mengisi tenaga.

Setelah menyantap sarapan pagi, kami pun segera pulang ke Roemah KAYON dan bersiap-siap. Peralatan wajib yang harus kami bawa untuk pemetaan antara lain: print-out foto udara, GPS (Nokia Navigator-nya Eka), meteran, kompas, botol air (untuk mengukur debit air), dan alat-alat dokumentasi (handycam dan camera digital). Setelah semuanya lengkap, kami pun segera menuju Kubu Siar untuk briefing dengan Bli Agung.


(suasana briefing di Kubu Siar)

Moda transportasi trekking kami hari ini dibagi menjadi bersepeda motor dan jalan kaki ^_^, hal ini disebabkan karena areal yang akan kami jelajahi cukup luas, mencakup 2 banjar, yaitu banjar Kikik dan Geluntung Kelod. Dan rute yang akan kami tempuh melewati medan yang off-road. Oleh karena itu perlu dipersiapkan rute yang paling efisien. Selain itu, Bli Agung juga mengingatkan kembali pada tugas utama kami, yaitu pemetaan kondisi eksisting dan potensi fisik & lingkungan, sosial, dan ekonomi serta desain untuk rural development.


(partisipan menandatangani peta sebelum berangkat, Eka mewakili sekehe teruna)

Pukul 08.30, kami pun segera berangkat. Atrid dan Eka meluncur ke jembatan (perbatasan Desa Geluntung dengan Banjar Tengah-Desa Marga) untuk mengecek koordinat, dan disusul oleh yang lainnya dengan jalan kaki. Rani dan Danar ikut dalam rombongan yang berjalan kaki, mereka mengamati lingkungan sekitar seperti sistem drainase yang dipenuhi sampah, kegiatan-kegiatan ekonomi warga, seperti warung, toko, dan counter pulsa/seluler.


(berkumpul di lapangan)

Kemudian kami berkumpul di lapangan, di situ Bli Agung menjelaskan metode pengukuran tinggi pohon. Beliau menawarkan kami untuk memperkirakan tinggi pohon kelapa di seberang lapangan. Kemudian Ayu diminta menjadi contoh, dia berdiri di bawah pohon kelapa tersebut, kemudian seutas tali diikatkan pada ketinggian yang sama dengan tinggi badan Ayu dan Danar menandai penggaris dengan spidol pada angka 1 centimeter, lalu mencocokkannya dengan tinggi tali yang diikatkan, kemudian melihat titik tertinggi pohon di penggaris, maka tinggi pohon ditemukan 19 meter.

Kegiatan ini dapat menjadi wahana belajar yang sederhana, dengan peralatan sederhana kita dapat mengetahui ukuran benda, misalnya untuk mengukur tinggi pohon, kita cukup perlu penggaris panjang dan seutas tali, tanpa kita harus memanjat pohon tersebut. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk mengukur ketinggian tempat.

Perjalanan dilanjutkan dengan memasuki wilayah banjar Kikik. Kami dipandu oleh klian banjar Kikik, Bapak Wayan Ruta, menuju ke beji (mata air) yang terletak di tepi sungai kecil. Disana kami menghitung debit air yang mengalir dari pancuran, dari sini ditemukan hasil penghitungan kecepatan air sebesar 600 ml per 4 detik atau 150 ml/detik. Potensi listrik tenaga air dapat dihasilkan dari pancuran di beji ini.


(mengukur debit air di beji Saren Kauh)


(mengukur panjang jalan dari jalan lingkungan ke beji Sarin Kauh)

Setelah itu pengukuran dilanjutkan dengan mengukur panjang jalan dari beji menuju jalan lingkungan Banjar Kikik. Sepanjang jalan ini merupakan jalur pengambilan air suci untuk sembahyang, sehingga dimungkinkan untuk dilakukan perbaikan kondisi jalan dan adanya penerangan jalan.

Pemetaan dilanjutkan dengan menyusuri jalan lingkungan yang merupakan jalan utama Banjar Kikik, kemudian transit sejenak di bale banjar, dan kembali melanjutkan perjalanan.


(bale banjar Kikik)

Disini ditemukan beberapa potensi ruang selain potensi energi listrik. Potensi ruang ini misalnya ruang untuk memarkir sepeda atau sepeda listrik di dekat Bale Banjar. Ide ini muncul berawal dari keprihatinan kami melihat banyaknya anak sekolah yang menggunakan sepeda motor untuk pergi ke sekolah. Di Desa Geluntung pada umumnya telah terjadi perubahan pola perjalanan menuju ke sekolah. Pada jaman dulu, ada jalan tembus yang dimanfaatkan masyarakat untuk jalur berjalan kaki menuju ke sekolah (SMP 1 Marga), akan tetapi sekarang ini jalan tersebut sudah jarang dilalui karena medan yang ditempuh cukup jauh, sehingga anak sekolah lebih banyak memanfaatkan kendaraan sepeda motor untuk ke sekolah, padahal anak seumuran mereka belum memperoleh surat izin mengemudi dan resiko kecelakaan juga cukup besar. Oleh karena itu, ide “park and walk” cukup didukung oleh adanya ruang di sini.


(dengan Klian Banjar Kikik, Bapak Wayan Ruta)

Pada trekking pemetaan ini, kami mencoba menelusuri jalan tembus yang dulu sering dimanfaatkan anak-anak untuk berjalan kaki ke sekolah.
Dan mulailah petualangan off-road kami.

Di ujung jalan lingkungan banjar Kikik, kami pun harus turun ke jalan tanah menuju hutan, hutan inilah yang menjadi batas banjar Kikik (Desa Geluntung) dengan Desa Marga. Di sana rombongan kami terpencar, Ngawan, Colin, dan anak-anak kecil sudah melaju lebih dulu di depan sedangkan kami masih melakukan pengecekan koordinat di beberapa titik.

Kami berjalan menyusuri jalan tanah, kemudian jalan terputus oleh aliran sungai kecil. Kami menyeberangi sungai seraya mengukur lebar sungai kecil tersebut. Lalu trekking berlanjut, kami menerobos pepohonan di hutan, melewati keramba dan jembatan bambu kemudian menemukan jalan buntu. Rombongan pun berbalik menyeberangi jembatan.


(menyeberangi sungai kecil)


(mengukur lebar sungai kecil untuk merencanakan jembatan bambu)

Rute yang telah kami rencanakan berubah, beberapa jalan yang dikenal oleh peserta trekking ternyata sudah berubah dari yang mereka ingat. Jalan inilah yang dulu sering digunakan untuk berjalan kaki menuju ke sekolah mereka. Perubahan yang paling mencolok adalah berpindahnya tegalan di Desa Marga ke tangan investor yang akan mendirikan hotel/vila. Hal ini sudah terlihat dari beberapa truk dan escavator untuk mengeruk tanah. Akibatnya, jalan yang dulunya berupa tegalan dan dapat dilalui dengan lancar, harus ditempuh dengan susah payah.

Rombongan kami sempat terpencar dan setelah berputar-putar akhirnya kami menemukan jalan tembus ke SMP No.1 Marga dan jalan utama Banjar Tengah (Desa Marga). Perjalanan kami pun berakhir di Jero Tusian, rumah keluarga besar Rani.


(bergaya di Jero Tusian)

Trekking Alas Perean

20 Juli 2008

Banjar Adat Alas Perean berada di Banjar Dinas Geluntung Kelod. Trekking pemetaan dimulai dari perbatasan Alas Perean dengan Banjar Geluntung Kaja, tepatnya di titik 8° 27’ 26” LS dan 115° 10’ 16” BT, titik koordinat ini merupakan hasil verifikasi di lapangan dari foto satelit wikimapia, yang dilakukan menggunakan fitur Global Positioning System (GPS) Nokia Navigator milik rekan kami, Eka.


(pemandangan yang hijau di Alas Perean)

Banjar ini memiliki pemandangan yang indah berupa hamparan sawah yang hijau, lanskap persawahan, dan kontur area dengan ketinggian yang bermacam-macam. Hal ini menjadikan potensi ruang yang sangat cocok dengan konsep “viewture village”, yang coba kami angkat dan akan kembangkan di Desa Geluntung ini. Beberapa potensi energi alternatif ramah lingkungan juga banyak ditemukan di banjar ini. Potensi energi ini berupa energi listrik tenaga air (pico hydro) yang kami dan peserta trekking temukan antara lain:
a) Mata air (beji) Pancoran Duren, yang diukur oleh rekan kami, Colin dan Ngawan, memiliki volume aliran 1 liter/detik dan 0,75 liter/detik.
b) Pancoran Tegal Pak Meri ,memiliki volume aliran 0,75 liter/detik


(Pancoran Tegal Pak Meri)


(beji Pancoran Duren)


(anak-anak membersihkan sampah plastik di sekitar pancoran)

Potensi energi listrik tenaga air ini masih perlu lagi dihitung ketinggian pancuran air dari permukaan tanah, sehingga nantinya dapat dihitung energi potensialnya. Misalnya untuk menghasilkan daya listrik sebesar 100 Watt, ternyata membutuhkan air 5 - 6 liter per detik, dengan selisih ketinggian minimal 3 meter.


(pengukuran debit air, model: Colin)


(ukur selisih ketinggian dari sawah ke sumber air, model: Ngawan)

Setelah menghitung potensi lingkungan di beberapa titik, kami menelusuri subak-subak yang menjadi lanskap utama banjar ini. Penelusuran subak-subak ini dibantu oleh Kelian Adat Pak Made Wetru, Pak Wayan Wetra, Pak Wayan Rantam, dan Pak Ketut Wartama, sebagai masyarakat Banjar Adat Alas Perean. Kami dijelaskan kepemilikan subak di banjar ini dan beberapa dari subak yang ada juga menjadi batas wilayah banjar ini dengan banjar lain baik yang masih satu desa maupun yang berlainan desa.


(checking batas desa)

Subak-subak di Banjar Adat Alas Perean ini dipimpin oleh kelian subak (pekaseh) subak Banjar Uma Bali. Pekaseh subak Uma Bali ternyata memimpin subak di beberapa banjar, antara lain:
1) Subak Uma Bali,
2) Subak Umakaang Kaja,
3) Subak Umakaang Kelod (Klaci),
4) Subak Alas Perean,
5) Subak Sendang Rapuh (Ole).

Trekking dan pemetaan ini juga tidak lupa mengukur jalan subak, jembatan, tutup saluran air, dan campuhan (pertemuan dua sungai). Hal ini bertujuan untuk memberikan data apabila akan dilakukan perbaikan kualitas sarana dan prasarana serta pemanfaatan energi tenaga air.

Tidak hanya potensi ruang saja yang kami temukan selama trekking di Banjar Alas Perean ini, beberapa permasalahan berupa pelanggaran tata guna lahan juga ditemukan di sini. Keberadaan dua villa yang konon dimiliki oleh warga asing secara langsung telah merusak lanskap hijau, tata ruang, dan lingkungan alam banjar ini. Mereka membangun villa di tengah areal persawahan. Keberadaan potensi air yang dimiliki banjar ini juga terancam dengan dibuatnya tangki penampungan air yang cukup tinggi. Oleh karena itu, harus dipikirkan bagaimana agar pelanggaran seperti ini tidak terjadi lagi.


(villa di tengah hijaunya hamparan sawah)

Perjalanan panjang yang cukup melelahkan ini tidak terasa telah dilalui, dari kegiatan ini banyak pelajaran yang kami dan rekan-rekan ambil dan lakukan, misalnya belajar mengukur, menghitung volume, membaca arah angin dengan kompas, belajar tentang ruang desa (mengenal dan merasakan ruang dan strukturnya) dan masih banyak lagi.

Trekking pemetaan partisipatif ini pun berakhir di batas selatan banjar, yaitu di koordinat 8° 27’ 1” LS dan 115° 9’ 35” BT.

Trekking pemetaan di Banjar Alas Perean ini tidak akan berjalan apabila tidak adanya partisipasi yang aktif dari rekan-rekan pemuda (Eka, Ngawan, Nuning, Colin, Citra), sobat-sobat cilik (Martha, Chandra, dkk), dan tentu saja masyarakat Banjar Adat Alas Perean (yang diwakili oleh Pak Made Wetru selaku Kelian Adat, Pak Wayan Wetra, Pak Wayan Rantam, dan Pak Ketut Wartama). Matur Suksma. . .

Thursday, September 18, 2008

2nd Week

14.07.2008

Setelah trekking sehari sebelumnya, hari ini kami istirahat. Tiba-tiba muncul ide untuk mempromosikan potensi wisata Desa Geluntung. Kami diberi tugas oleh Bli Agung untuk membuat desain leaflet dan postcard sebagai media promosi. Untuk paket dan minat wisata yang akan ditawarkan, kami melakukan brainstorming dengan menuliskan di papan kertas (flip-chart) yang berada di ruang tengah pondokan kami.
Beberapa diantaranya:
• Wisata kuliner
• Trekking dan safari sepeda
• Perang lumpur
Bird watching
Flying monkey (meluncur dari pohon ke pohon menggunakan tali)
Paintball and air soft gun
• Pertunjukan kesenian anak-anak
• Piknik di pematang sawah


(flipchart, media brainstorming)

Brainstorming dengan menulis di papan kertas ini masih berlangsung sampai posting ini diluncurkan dan akan terus mengalir ide-ide baru yang nantinya akan di seleksi dan dirumuskan dalam output draft rural design.

Dari ide-ide paket wisata diatas, maka dapat dicari dan ditentukan lokasi-lokasi strategis/ ‘hot spot’ yang kemudian dipaparkan dalam grafis dan peta. Lokasi-lokasi tersebut antara lain lokasi:
• Kuliner
• Jalur trekking
• Hasil-hasil alam
• Potensi Alt.NRG (alternative energy) : solar, water, wind, etc
• Mata air dan aliran air
• Lokasi perang lumpur & pancuran untuk membersihkan badan
Seperti ide-ide paket wisata, pemetaan hot spot ini juga masih akan berkembang (^_^)v

Sore harinya, Danar dan Atrid diajak anak-anak desa (Yuda, Nova, Bayu, Candra dan Manik) keliling banjar Geluntung Kaja. Kami berjalan dengan riang ke arah timur laut, kemudian ke selatan mengikuti jalan sampai ke perbatasan dengan Desa Marga. Kemudian kami membelokkan rute ke barat melewati sawah, lapangan, sungai kecil dan tembus di pekarangan rumah Yuda. Jalan-jalan sore ini bisa dibilang sebagai salah satu petualangan kecil kami yang mengasyikkan bersama anak-anak setempat.

15.07.2008


(Upacara Mapepasaran di Bale Banjar)

Hari ini ada upacara adat Mapepasaran di bale banjar Geluntung Kaja. Upacara ini masih termasuk dalam rangkaian upacara agung Melaspas, Mendem dan Ngenteg Linggih. Harusnya upacara ini dimulai pukul 09.00, tapi karena beberapa hal maka upacara baru dimulai pukul 10.00.


(Ritual Mapepasaran di Beji)

Kami bertugas mendokumentasikan prosesi upacara tersebut, dan mewawancarai kepala adat, Bapak Sumatera. Upacara ini bertujuan untuk mensucikan alat-alat yang dipakai untuk upacara di mata air suci / beji.

Setelah upacara selesai, kami pun dengan terburu-buru segera berangkat ke Taman Pujaan Bangsa Candi Margarana untuk mengikuti Musyawarah Antar Desa (MAD) II yang diadakan oleh Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM-MP).




(suasana Musyawarah Antar Desa)

MAD II ini membahas topik penyusunan dan penetapan peringkat usulan desa (prioritas kegiatan yang diusulkan oleh desa). MAD dihadiri oleh: Camat Marga, perwakilan dari 15 desa yang ada di Kecamatan Marga, pengurus BKAD (Badan Kerjasama Antar Desa), dan Tim dari PPK (Program Pengembangan Kecamatan) antara lain: PjOK (Pejabat Operasional Kecamatan) Marga, Fasilitator Kecamatan Marga, dan Fasilitator Kabupaten Tabanan. Selanjutnya, Musyawarah Antar Desa III akan dilaksanakan pada tanggal 31 Juli 2008.


(bersama Agus Wes dan temannya,Connie)

Sore harinya di Roemah KAYON, kami kedatangan tamu, Agus Wes, seorang aktivis Greenpeace yang juga tergabung dalam Rainbow Warrior. Beliau bercerita dan berbagi pengalamannya dalam upaya penyelamatan lingkungan, hal yang sekarang ini menjadi fokus perhatian dunia. Berbagai isu kerusakan lingkungan baik di dalam maupun luar negeri membuat aktivis Greenpeace gencar untuk berupaya mengampanyekan dan menghentikan usaha pengrusakan lingkungan.

16.07.2008

Pagi hari, kami ke Kantor Perbekel Geluntung untuk membuat surat undangan sosialisasi kegiatan pemetaan yang akan dilaksanakan pada hari Minggu (20/7). Tim ARD merencanakan pemetaan akan dilakukan di dua banjar adat sekaligus, yaitu Alas Perean dan Geluntung Kelod, sehingga sosialisasi akan ditujukan kepada Kelian Dinas, Kelian Adat, Pekaseh Subak Alas Perean dan Geluntung Kelod.
Namun, dikarenakan wilayah banjar adat Alas Perean sangat luas dan dibutuhkan pemetaan yang detail, maka pemetaan untuk hari Minggu hanya dilakukan di banjar adat Alas Perean saja.

Sepulangnya dari Kantor Perbekel, kami langsung mengerjakan tugas individu, Atrid mengedit video, Rani membuat desain leaflet dan memetakan jalur trekking serta memplotting hasil cek koordinat GPS banjar Umabali, dan Danar menkonversi angka koordinat hasil pemetaan yang dilakukan dengan GPS.

17.07.2008


Di Bale Banjar Geluntung Kaja pada pukul 09.00 WITA ada gotong royong untuk mempersiapkan Karya Agung Melaspas, Mendem, dan Ngenteg Linggih, kegiatan gotong royong ini disebut Nyamuh. Pada kesempatan ini, tim ARD menyempatkan diri untuk mendokumentasikan jalannya kegiatan Nyamuh.




(suasana gotong-royong Nyamuh di Bale Banjar)

Setelah melakukan pendokumentasian, tim langsung kembali ke Roemah KAYON untuk mengerjakan tugas masing-masing: Atrid menambah isi tulisan yang akan di upload di blog, Rani membuat logo tulisan “Geluntung” yang kemudian akan dimasukkan dalam desain leaflet, dan Danar mendesain kartu pos (post card).

18.07.2008

Pada pukul 09.00 WITA, Danar dan Rani berada di Kantor Perbekel Geluntung untuk menemui perangkat desa dengan maksud meminta bantuan untuk menemani kami berdua menyampaikan surat undangan sosialisasi ke Perangkat Adat Banjar Alas Perean. Namun, dikarenakan Perangkat Adat Banjar Alas Perean sedang berada di kantor masing-masing, kami berdua pun hanya menyampaikan ke rumah Kelian Dinas Geluntung Kelod (Banjar Adat Alas Perean secara administratif berada di Banjar Dinas Geluntung Kelod).

Kebetulan Atrid berada di Kuta karena ibunya datang. Selama disana Atrid menyempatkan untuk memposting artikel ke dalam blog (updating).

Selanjutnya, Danar, Rani, dan Bli Agung meluncur ke warnet di Kota Tabanan untuk melengkapi foto satelit wikimapia banjar adat Alas Perean dan sebagian banjar Umabali. Selain mendownload kepingan foto satelit, kami juga mencocokan hasil cek kooordinat pemetaan dengan GPS dan koordinat yang ditunjukkan di foto satelit wikimapia. Jam 12.30 WITA kami bertiga menuju Kampung Jawa, Tabanan. Disana Danar menunaikan solat jumat di Masjid Agung, sedangkan Bli Agung dan Rani ke XL Center untuk memperbaiki SIM Card ponsel.

Kemudian, makan siang di warung milik Bli Gede yang berseberangan dengan Kantor Bupati Tabanan. Pada saat itu, kami tidak sengaja membaca artikel di salah satu koran yang memuat adanya kegiatan pameran fotografi arsitektur yang diadakan oleh mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Udayana di Danes Art Veranda (galeri milik arsitek Popo Danes). Kami kemudian merencanakan untuk berkunjung ke sana malam harinya.

Pukul 16.00 WITA, tim ARD ditemani Bli Agung, Bli Made, dan Nuning berkunjung ke rumah Kelian Adat Alas Perean, Pak Wayan Wetru, untuk menyampaikan kegiatan trekking dan pemetaan pada hari Minggu (20/7). Namun, Pak Wetru masih berada di Tabanan, sehingga kita berniat untuk menemui beliau keesokan harinya (Sabtu, 19/7).

Sore menjelang malam, tepatnya pukul 18.00 WITA, Volkswagen Safari Bli Agung berpenumpangkan Danar, Atrid, Rani, dan dua teman kami dari Banjar Geluntung Kaja (Ayu dan Puri) segera bergerak ke galerinya Popo Danes untuk melihat pameran fotografi arsitektur yang mengangkat tema “Dialog of The City”.

19.07.2008

Pada pukul 07.00 WITA, kami bergegas menuju SD No. 2 Marga untuk menemui Pak Wayan Wetru, Kelian Adat Banjar Alas Perean untuk menyampaikan rencana trekking dan pemetaan di Banjar Alas Perean besok Minggu (20/7). Pak Wayan Wetru menyambut positif kegiatan kami dan siap ikut serta dalam pemetaan.

Perang Lumpur

13/07/2008

Sepanjang perjalanan trekking kami mengelilingi Banjar Umabali, anak-anak baik laki-laki maupun perempuan bertanya padaku, “Kak, nanti jadi perang lumpur?” atau “Kak, ikut perang lumpur kan?”. Hmm…memang sehari sebelumnya saya berjanji sama anak-anak kalau besok setelah trekking boleh lah kita perang lumpur.

Ceritanya begini, saat saya sedang dikerubuti anak-anak, saya mengajak mereka ikutan trekking, sekalian kami melakukan pemetaan. Tiba-tiba salah satu dari mereka menyeletuk, “Kak, gimana kalau perang lumpur juga?”. Didorong oleh rasa penasaran yang tinggi, dan hasrat yang sedikit kekanak-kanakan, akhirnya saya pun oke saja dengan ajakan mereka.

Hari Minggu tiba. Sejak pagi sampai siang kami trekking menyusuri perbatasan Banjar Umabali. Trekking dimulai dari Bale Banjar, terus menyusur ke utara, sampai perbatasan dengan Desa Payangan, lalu ke barat, melalui subak Umabali Ancut. Kami sempat membuat teh, dan beristirahat. Lalu terguyur hujan dan berteduh di Bale Timbang. Setelah itu, hujan masih rintik-rintik tapi kami tetap melanjutkan perjalanan.

Sampai di Roemah KAYON, lagi-lagi anak-anak menanyakan tentang perang lumpur. ”Oke, nanti perang lumpur deh tapi setelah mataharinya nggak panas ya. Jadi sekarang kita istirahat dulu,”. Saya menentukan jam 4 sore perang lumpurnya. Anak-anak pun setuju, kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing.

Masih jam 3 sore, anak-anak malah sudah ramai berkumpul di Roemah KAYON. Untuk menunggu sampai jam 4, kami pun bermain dan bercanda dengan anak-anak.


(berangkat perang lumpur)

Sebelum berangkat perang lumpur, anak-anak mengamankan sandal mereka di garasi Roemah KAYON, ”Jangan dipakai sandalnya, Kak... Nanti putus,” begitu katanya. Akhirnya jam 4 kami pun berangkat ke sawah yang ada di belakang Bale Banjar Geluntung Kaja, dekat mata air Beji. Ramai sekali anak-anak yang ikut perang lumpur, bahkan anak-anak yang tadi tidak mengikuti trekking jadi tertarik ikut perang lumpur. Laki-laki dan perempuan sama saja, semua bersemangat. Saya juga jadi semangat. Pasti seru dan asyik sekali.

Anak laki-laki langsung berlarian menyerbu sumber lumpur, sedangkan anak-anak perempuan masih takut-takut. Tiba-tiba salah satu anak laki-laki, Martha, mengagetkan kami dengan lemparan lumpur yang mengenai salah satu anak perempuan. Dengan takut-takut anak-anak perempuan mendekati area persawahan yang akan menjadi medan perang lumpur. Anak-anak laki-laki melempari kami dengan lumpur yang berbentuk bola-bola. Wah... suasana pun jadi semakin semangat.


(anak-anak berlarian menghindari lemparan bola-bola lumpur)

Perang lumpur pun dimulai. Kami saling melempari lumpur. Tidak ada kawan atau lawan yang nyata, semua kawan dan semua lawan. Kami saling melempari siapapun yang sudah melempari kami. Kena tidak kena, pokoknya lempar!!! Lumpur sawah yang liat saling berbalas di udara. Ada yang menyerang dari atas, ada yang sambil berlari, ada yang sembunyi, ada yang diam saja di pinggir sambil berteriak-teriak. Mereka juga melempariku dengan lumpur samapai kena kepala, punggung, telinga, muka. Wah... badanku jadi penuh lumpur.




(berenang-renang di kolam)

Tidak hanya lempar-lemparan lumpur, kebetulan ”medan perang” kami bersebelahan dengan kolam, beberapa anak pun menceburkan diri sambil berenang-renang di kolam. Saya hanya melihat dari atas, dengan badan penuh lumpur dan terancam dilempar lumpur atau diceburkan ke kolam. Beberapa anak mencoba meceburkan saya, tapi badan mereka yang jauh lebih kecil bisa dengan mudah saya balik menceburkan mereka. Tapi tiba-tiba segerombolan anak beramai-ramai menceburkan saya ke kolam.

Ternyata diceburkan ke kolam tidak se-hiperbolis yang saya bayangkan, ternyata dasar kolma itu empuk karena masih berupa tanah, dan air kolamnya tidak terlalu dingin. Saya pun malah ikutan berenang-renang sambil ditarik-tarik anak kecil untuk menemani mereka bermain air atau melindungi mereka dari serangan lumpur teman-temannya.

Acara lempar-lemparan lumpur masih berlanjut di dalam kolam. Beberapa terkena “tembakan” di mata, mulut dan telinga, tapi untungnya tidak membahayakan. Lumpur juga tidak hanya dibentuk bola-bola dan dilemparkan, tapi juga dioleskan ke baju dan muka, sampai muka kami semua coreng-moreng terkena lumpur (=^_^=)v.

Puas lempar-lemparan lumpur, akhirnya kami mulai bermain air di kolam. Beberapa anak membentangkan sebatang bambu, kemudian duduk diatasnya dan mulai cakar-cakaran, pukul-pukulan, sambil tetap tertawa riang. Anak-anak lainnya ada yang berenang, siram-siraman air dan menangkap ikan atau udang.


(mandi di pancuran mata air)

Tak terasa matahari telah surut, anak-anak mulai kedinginan sampai gigi mereka gemeletuk. Kami pun naik dari kolam menuju mata air kemudian membersihkan muka dan badan. Uwaaah... segar sekali... Air yang segar menyentuh kulit, membersihkan lumpur-lumpur yang menempel. Walaupun tidak sampai bersih, at least kami pulang ke rumah tidak dalam keadaan penuh lumpur.


(bergaya setelah perang lumpur)

Kami pun pulang ke rumah masing-masing, beberapa anak bertanya padaku,
”Kakak, kapan-kapan perang lumpur lagi yuk!!”. Oke saja!!


Special thanks to anak-anak Pendekar Perang Lumpur: Yuda, Nova, Martha, Bayu, Sri, Okta, Kolin, Ratih, Dwi , Ari dan semuanya.

v(atrid)v

Trekking Umabali

13/07/2008

Hari ini diawali dengan udara pagi yang lebih dingin dari biasanya. Setelah sarapan pagi yang berupa bubur khas bali lengkap dengan telur rebus, kami lalu berkumpul di halaman Rumah KAYON. Setelah sedikit pengarahan, rombongan yang terdiri dari kami bertiga (tim kerja ARD), IGN Agung Putradhyana (koordinator KAYON), Nuning dan Eka (STT) beserta anak-anak Desa Geluntung berangkat bersama ke Bale Banjar Umabali. Karena membludaknya jumlah peserta anak-anak, maka keberangkatan dibagi dalam dua kloter, sebab kendaraan yang ada terbatas kapasitasnya. Anak-anak tersebut rata-rata berumur 6 hingga 15 tahun.


(bernyanyi dan bercanda ria sepanjang perjalanan)

Kedatangan kami di Bale Banjar Umabali disambut hujan gerimis dan awan mendung yang menggelayut manis memenuhi langit. Setelah briefing singkat dengan aparat banjar setempat, kami lalu memulai trekking dan pemetaan hari itu. Adapun titik pertama yang kami cek koordinatnya adalah Bale Banjar Umabali.


(berbagi pengetahuan geografi dengan anak-anak)

Di sini tim kami bagi sesuai pekerjaan masing-masing. Atrid bertugas mencatat letak titik yang dicek koordinatnya pada peta satelit yang kami bawa. Danar bertugas sebagai seksi dokumentasi kegiatan hari itu. Rani dan Eka bertugas mengecek koordinat dengan GPS Nokia Navigator serta mencatat koordinat masing-masing titik pengecekan. Sementara Bli Agung menghitung potensi dari aliran air yang ada di sepanjang wilayah amatan. Penghitungan potensi meliputi debit air, kecepatan aliran air serta lebar dan ketinggian air. Dari hasil penghitungan ini kita dapat mengetahui potensi aliran air di beberapa tempat untuk menjadi penghasil listrik tenaga air (turbin air). Nuning dan Atrid juga merangkap tugas sebagai koordinator anak-anak Desa Geluntung.


(mengecek koordinat di foto udara)

Pengecekan koordinat dilanjutkan ke beberapa titik lainnya seperti Pura Dalem, Batas Desa Payangan, serta beberapa tempat lainnya. Menjelang tengah hari kami beristirahat sejenak sambil menikmati nikmatnya “acara memasak di tengah pemandangan alam yang indah”. Walaupun hanya memasak air minum untuk menyeduh teh, namun karena dilakukan bersama-sama dan di alam terbuka maka suasana yang tercipta menjadi tidak biasa dan tidak membosankan. Serasa pergi berlibur beramai-ramai.

Setelah puas beristirahat kamipun kembali melanjutkan perjalanan. Masih ada sekitar setengah jalan lagi yang harus kami lalui. Sayangnya cuaca mulai tidak mendukung kegiatan yang kami lakukan. Mendadak saja turun hujan yang cukup deras dan memaksa kami untuk berlarian mencari tempat berteduh. Untungnya tidak jauh dari lokasi pemetaan terdapat balai-balai kecil. Balai tersebut biasanya digunakan sebagai Balai Timbang. Kami berteduh di Balai Timbang sambil membuka bekal makanan kecil yang kami bawa. Kesempatan ini lalu kami manfaatkan untuk memberi penjelasan singkat pada anak-anak mengenai dasar-dasar pemetaan serta peralatan yang digunakan di dalam kegiatan pemetaan, seperti penjelasan mengenai garis bujur dan garis lintang, kutub magnet bumi, teknis pembacaan peta hingga cara menggunakan kompas. Diharapkan dengan penjelasan disertai praktek langsung di lapangan yang dikemas dalam acara jalan-jalan bersama ini dapat menambah ilmu pengetahuan bagi adik-adik di Desa Geluntung.


(maskot kecil perjalanan kami: Ari dan Dwi)

Setelah hujan reda kami lalu melanjutkan kegiatan trekking dan pemetaan yang sempat tertunda. Kami tiba di batas Banjar Umabali dengan Banjar Geluntung Kaja pada pukul 1 siang dan akhirnya tiba kembali di Rumah KAYON.

(rani)

Netegang Beras Pengalang Sasih

09/07/2008

Wawancara dengan Pak Sumantra

Upacara hari ini secara tidak resmi dinamakan upacara Netegang Beras Pengalang Sasih. Upacara ini merupakan rangkaian upacara pembuka yang kedua. Upacara ini bertujuan mensucikan diri dan peralatan dan upakara banten yang akan digunakan hingga rangkaian puncak yang akan diadakan pada tanggal 26. Dari tiga tingkatan upacara yang ada (rendah,madya, utama), upacara yang dilakukan mengambil tingkatan madya atau menengah. Upacara ini bertujuan menjaga keseimbangan alam atas dan alam bawah. Rangakaiannya berupa Melaspas, Mendem dan Ngenteg Linggih. Melaspas bertujuan untuk mensucikan fisik semua bangunan serta peralatan yang akan digunakan dalam upacara. Mendem sebagai fondasi dari bangunan fisik, sedangkan Ngenteg bertujuan untuk supaya Sang Hyang Widhi tetap berstana di tempat ini.

Adapun upacara ini siklusnya diadakan setiap 10 tahun sekali. Namun karena ada beberapa halangan, upacara kali ini dilaksanakan sekitar 20 tahun setelah upacara terakhir dilaksanakan. Lingkup dari upacara ini adalah Banjar Geluntung Kaja. Upacara ini dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan dan komponen masyarakat Geluntung Kelod.

Salah satu perlengkapan upacara ini adalah Sunari. Secara fisik Sunari terbuat dari batang bambu yang diberi lubang sehingga menghasilkan suara dengan frekuensi tinggi. Sunari dibuat sebanyak 5 buah dan pada masing-masing ujungnya diberi kain (disebut juga Kober) yang warnanya berbeda sesuai dengan arah mata angina. Merah untuk Selatan, Hitam untuk Utara, Kuning untuk Barat, Putih untuk Timur dan Panca Warna untuk arah Tengah. Bambu yang digunakan untuk membuat Sunari adalah bambu yang disebut “tiing tamlang” yang sudah agak tua. Alasan penggunaan bambu yang agak tua adalah agar tidak mudah patah terkena angin. Bunyi nyaring yang ditimbulkan oleh Sunari diharapkan dapat membuat Ida Bathara bersedia berstana di tempat itu.

Selain upacara ini yang dilaksanakan setiap 10 tahun sekali, terdapat beberapa upacara dengan skala yang lebih kecil yang diadakan setiap bulannya. Biaya serta perlengkapan yang digunakan dalam upacara ini diusahakan secara swadaya oleh masyarakat. Setiap kepala keluarga yang ada dikenakan sumbangan sebesar lima puluh ribu rupiah (terdapat sekitar 150 KK di Banjar Gluntung Kaja. Kemudian dari jumlah tersebut akan ditambahkan dengan dana yang tersedia di banjar. Total dana yang dihabiskan sekitar 30 juta rupiah. Biaya tersebut di luar tambahan peralatan yang disediakan secara sukarela oleh masyarakat. Termasuk di antaranya masing-masing KK menyediakan satu batang bambu yang digunakan untuk membangun shelter tempat bekerja selama upacara berlangsung.

Lanjutan dari upacara pada hari ini adalah Upacara Mapadapada yang akan dilakukan pada tanggal 24 dan 25 Juli 2008. Upacara ini dilakukan untuk mensucikan dan membersihkan hewan-hewan yang akan dipersembahkan sebagai yadnya. Rangkaian upacara ini juga akan dilanjutkan dengan “ngiring” ke Danau Beratan pada tanggal 29 Juli 2008.

(rani)