Kami mengawali pagi ini dengan semangat, semalam kami dan teman-teman di Geluntung (Ayu, Puri, Eka dan Ngawan) sudah antusias untuk menyambut kegiatan trekking hari ini. Minggu lalu kami tidak melakukan kegiatan trekking pemetaan karena ada upacara agung di bale banjar Geluntung Kaja (di depan Roemah KAYON). Upacara ini merupakan puncak dari rangkaian upacara Melaspas, Mendem Pedagingan lan Ngenteg Linggih.
Pagi-pagi, waktu masih menunjukkan pukul 05.30, Atrid dan Rani sudah naik ke Kubu Siar untuk membangunkan teman-teman (ada Danar, Eka dan Ngawan). Setelah itu, kami segera menuju ke warung bubur untuk mengisi tenaga.
Setelah menyantap sarapan pagi, kami pun segera pulang ke Roemah KAYON dan bersiap-siap. Peralatan wajib yang harus kami bawa untuk pemetaan antara lain: print-out foto udara, GPS (Nokia Navigator-nya Eka), meteran, kompas, botol air (untuk mengukur debit air), dan alat-alat dokumentasi (handycam dan camera digital). Setelah semuanya lengkap, kami pun segera menuju Kubu Siar untuk briefing dengan Bli Agung.

(suasana briefing di Kubu Siar)
Moda transportasi trekking kami hari ini dibagi menjadi bersepeda motor dan jalan kaki ^_^, hal ini disebabkan karena areal yang akan kami jelajahi cukup luas, mencakup 2 banjar, yaitu banjar Kikik dan Geluntung Kelod. Dan rute yang akan kami tempuh melewati medan yang off-road. Oleh karena itu perlu dipersiapkan rute yang paling efisien. Selain itu, Bli Agung juga mengingatkan kembali pada tugas utama kami, yaitu pemetaan kondisi eksisting dan potensi fisik & lingkungan, sosial, dan ekonomi serta desain untuk rural development.

(partisipan menandatangani peta sebelum berangkat, Eka mewakili sekehe teruna)
Pukul 08.30, kami pun segera berangkat. Atrid dan Eka meluncur ke jembatan (perbatasan Desa Geluntung dengan Banjar Tengah-Desa Marga) untuk mengecek koordinat, dan disusul oleh yang lainnya dengan jalan kaki. Rani dan Danar ikut dalam rombongan yang berjalan kaki, mereka mengamati lingkungan sekitar seperti sistem drainase yang dipenuhi sampah, kegiatan-kegiatan ekonomi warga, seperti warung, toko, dan counter pulsa/seluler.

(berkumpul di lapangan)
Kemudian kami berkumpul di lapangan, di situ Bli Agung menjelaskan metode pengukuran tinggi pohon. Beliau menawarkan kami untuk memperkirakan tinggi pohon kelapa di seberang lapangan. Kemudian Ayu diminta menjadi contoh, dia berdiri di bawah pohon kelapa tersebut, kemudian seutas tali diikatkan pada ketinggian yang sama dengan tinggi badan Ayu dan Danar menandai penggaris dengan spidol pada angka 1 centimeter, lalu mencocokkannya dengan tinggi tali yang diikatkan, kemudian melihat titik tertinggi pohon di penggaris, maka tinggi pohon ditemukan 19 meter.
Kegiatan ini dapat menjadi wahana belajar yang sederhana, dengan peralatan sederhana kita dapat mengetahui ukuran benda, misalnya untuk mengukur tinggi pohon, kita cukup perlu penggaris panjang dan seutas tali, tanpa kita harus memanjat pohon tersebut. Hal yang sama juga dapat dilakukan untuk mengukur ketinggian tempat.
Perjalanan dilanjutkan dengan memasuki wilayah banjar Kikik. Kami dipandu oleh klian banjar Kikik, Bapak Wayan Ruta, menuju ke beji (mata air) yang terletak di tepi sungai kecil. Disana kami menghitung debit air yang mengalir dari pancuran, dari sini ditemukan hasil penghitungan kecepatan air sebesar 600 ml per 4 detik atau 150 ml/detik. Potensi listrik tenaga air dapat dihasilkan dari pancuran di beji ini.

(mengukur debit air di beji Saren Kauh)

(mengukur panjang jalan dari jalan lingkungan ke beji Sarin Kauh)
Setelah itu pengukuran dilanjutkan dengan mengukur panjang jalan dari beji menuju jalan lingkungan Banjar Kikik. Sepanjang jalan ini merupakan jalur pengambilan air suci untuk sembahyang, sehingga dimungkinkan untuk dilakukan perbaikan kondisi jalan dan adanya penerangan jalan.
Pemetaan dilanjutkan dengan menyusuri jalan lingkungan yang merupakan jalan utama Banjar Kikik, kemudian transit sejenak di bale banjar, dan kembali melanjutkan perjalanan.

(bale banjar Kikik)
Disini ditemukan beberapa potensi ruang selain potensi energi listrik. Potensi ruang ini misalnya ruang untuk memarkir sepeda atau sepeda listrik di dekat Bale Banjar. Ide ini muncul berawal dari keprihatinan kami melihat banyaknya anak sekolah yang menggunakan sepeda motor untuk pergi ke sekolah. Di Desa Geluntung pada umumnya telah terjadi perubahan pola perjalanan menuju ke sekolah. Pada jaman dulu, ada jalan tembus yang dimanfaatkan masyarakat untuk jalur berjalan kaki menuju ke sekolah (SMP 1 Marga), akan tetapi sekarang ini jalan tersebut sudah jarang dilalui karena medan yang ditempuh cukup jauh, sehingga anak sekolah lebih banyak memanfaatkan kendaraan sepeda motor untuk ke sekolah, padahal anak seumuran mereka belum memperoleh surat izin mengemudi dan resiko kecelakaan juga cukup besar. Oleh karena itu, ide “park and walk” cukup didukung oleh adanya ruang di sini.

(dengan Klian Banjar Kikik, Bapak Wayan Ruta)
Pada trekking pemetaan ini, kami mencoba menelusuri jalan tembus yang dulu sering dimanfaatkan anak-anak untuk berjalan kaki ke sekolah.
Dan mulailah petualangan off-road kami.
Di ujung jalan lingkungan banjar Kikik, kami pun harus turun ke jalan tanah menuju hutan, hutan inilah yang menjadi batas banjar Kikik (Desa Geluntung) dengan Desa Marga. Di sana rombongan kami terpencar, Ngawan, Colin, dan anak-anak kecil sudah melaju lebih dulu di depan sedangkan kami masih melakukan pengecekan koordinat di beberapa titik.
Kami berjalan menyusuri jalan tanah, kemudian jalan terputus oleh aliran sungai kecil. Kami menyeberangi sungai seraya mengukur lebar sungai kecil tersebut. Lalu trekking berlanjut, kami menerobos pepohonan di hutan, melewati keramba dan jembatan bambu kemudian menemukan jalan buntu. Rombongan pun berbalik menyeberangi jembatan.

(menyeberangi sungai kecil)

(mengukur lebar sungai kecil untuk merencanakan jembatan bambu)
Rute yang telah kami rencanakan berubah, beberapa jalan yang dikenal oleh peserta trekking ternyata sudah berubah dari yang mereka ingat. Jalan inilah yang dulu sering digunakan untuk berjalan kaki menuju ke sekolah mereka. Perubahan yang paling mencolok adalah berpindahnya tegalan di Desa Marga ke tangan investor yang akan mendirikan hotel/vila. Hal ini sudah terlihat dari beberapa truk dan escavator untuk mengeruk tanah. Akibatnya, jalan yang dulunya berupa tegalan dan dapat dilalui dengan lancar, harus ditempuh dengan susah payah.
Rombongan kami sempat terpencar dan setelah berputar-putar akhirnya kami menemukan jalan tembus ke SMP No.1 Marga dan jalan utama Banjar Tengah (Desa Marga). Perjalanan kami pun berakhir di Jero Tusian, rumah keluarga besar Rani.

(bergaya di Jero Tusian)
0 comments:
Post a Comment