This is an official blog of Adventurer Rural design project (ARD project), a participative village mapping and planning project that held by 3 students of Urban and Regional Planning program of Gadjah Mada University under KAYON Foundation. The project is taking place in Geluntung village, Marga, Tabanan, Bali. Mapping process is participative which involved village apparatus, youths, and kids. All written in this blog is the progress during the practical study.

Friday, September 19, 2008

Trekking Alas Perean

20 Juli 2008

Banjar Adat Alas Perean berada di Banjar Dinas Geluntung Kelod. Trekking pemetaan dimulai dari perbatasan Alas Perean dengan Banjar Geluntung Kaja, tepatnya di titik 8° 27’ 26” LS dan 115° 10’ 16” BT, titik koordinat ini merupakan hasil verifikasi di lapangan dari foto satelit wikimapia, yang dilakukan menggunakan fitur Global Positioning System (GPS) Nokia Navigator milik rekan kami, Eka.


(pemandangan yang hijau di Alas Perean)

Banjar ini memiliki pemandangan yang indah berupa hamparan sawah yang hijau, lanskap persawahan, dan kontur area dengan ketinggian yang bermacam-macam. Hal ini menjadikan potensi ruang yang sangat cocok dengan konsep “viewture village”, yang coba kami angkat dan akan kembangkan di Desa Geluntung ini. Beberapa potensi energi alternatif ramah lingkungan juga banyak ditemukan di banjar ini. Potensi energi ini berupa energi listrik tenaga air (pico hydro) yang kami dan peserta trekking temukan antara lain:
a) Mata air (beji) Pancoran Duren, yang diukur oleh rekan kami, Colin dan Ngawan, memiliki volume aliran 1 liter/detik dan 0,75 liter/detik.
b) Pancoran Tegal Pak Meri ,memiliki volume aliran 0,75 liter/detik


(Pancoran Tegal Pak Meri)


(beji Pancoran Duren)


(anak-anak membersihkan sampah plastik di sekitar pancoran)

Potensi energi listrik tenaga air ini masih perlu lagi dihitung ketinggian pancuran air dari permukaan tanah, sehingga nantinya dapat dihitung energi potensialnya. Misalnya untuk menghasilkan daya listrik sebesar 100 Watt, ternyata membutuhkan air 5 - 6 liter per detik, dengan selisih ketinggian minimal 3 meter.


(pengukuran debit air, model: Colin)


(ukur selisih ketinggian dari sawah ke sumber air, model: Ngawan)

Setelah menghitung potensi lingkungan di beberapa titik, kami menelusuri subak-subak yang menjadi lanskap utama banjar ini. Penelusuran subak-subak ini dibantu oleh Kelian Adat Pak Made Wetru, Pak Wayan Wetra, Pak Wayan Rantam, dan Pak Ketut Wartama, sebagai masyarakat Banjar Adat Alas Perean. Kami dijelaskan kepemilikan subak di banjar ini dan beberapa dari subak yang ada juga menjadi batas wilayah banjar ini dengan banjar lain baik yang masih satu desa maupun yang berlainan desa.


(checking batas desa)

Subak-subak di Banjar Adat Alas Perean ini dipimpin oleh kelian subak (pekaseh) subak Banjar Uma Bali. Pekaseh subak Uma Bali ternyata memimpin subak di beberapa banjar, antara lain:
1) Subak Uma Bali,
2) Subak Umakaang Kaja,
3) Subak Umakaang Kelod (Klaci),
4) Subak Alas Perean,
5) Subak Sendang Rapuh (Ole).

Trekking dan pemetaan ini juga tidak lupa mengukur jalan subak, jembatan, tutup saluran air, dan campuhan (pertemuan dua sungai). Hal ini bertujuan untuk memberikan data apabila akan dilakukan perbaikan kualitas sarana dan prasarana serta pemanfaatan energi tenaga air.

Tidak hanya potensi ruang saja yang kami temukan selama trekking di Banjar Alas Perean ini, beberapa permasalahan berupa pelanggaran tata guna lahan juga ditemukan di sini. Keberadaan dua villa yang konon dimiliki oleh warga asing secara langsung telah merusak lanskap hijau, tata ruang, dan lingkungan alam banjar ini. Mereka membangun villa di tengah areal persawahan. Keberadaan potensi air yang dimiliki banjar ini juga terancam dengan dibuatnya tangki penampungan air yang cukup tinggi. Oleh karena itu, harus dipikirkan bagaimana agar pelanggaran seperti ini tidak terjadi lagi.


(villa di tengah hijaunya hamparan sawah)

Perjalanan panjang yang cukup melelahkan ini tidak terasa telah dilalui, dari kegiatan ini banyak pelajaran yang kami dan rekan-rekan ambil dan lakukan, misalnya belajar mengukur, menghitung volume, membaca arah angin dengan kompas, belajar tentang ruang desa (mengenal dan merasakan ruang dan strukturnya) dan masih banyak lagi.

Trekking pemetaan partisipatif ini pun berakhir di batas selatan banjar, yaitu di koordinat 8° 27’ 1” LS dan 115° 9’ 35” BT.

Trekking pemetaan di Banjar Alas Perean ini tidak akan berjalan apabila tidak adanya partisipasi yang aktif dari rekan-rekan pemuda (Eka, Ngawan, Nuning, Colin, Citra), sobat-sobat cilik (Martha, Chandra, dkk), dan tentu saja masyarakat Banjar Adat Alas Perean (yang diwakili oleh Pak Made Wetru selaku Kelian Adat, Pak Wayan Wetra, Pak Wayan Rantam, dan Pak Ketut Wartama). Matur Suksma. . .

0 comments: